1.
Manipulasi Laporan Keuangan PT KAI
Transparansi
serta kejujuran dalam pengelolaan lembaga yang merupakan salah satu derivasi
amanah reformasi ternyata belum sepenuhnya dilaksanakan oleh salah satu badan
usaha milik negara, yakni PT Kereta Api Indonesia. Dalam laporan kinerja
keuangan tahunan yang diterbitkannya pada tahun 2005, ia mengumumkan bahwa
keuntungan sebesar Rp. 6,90 milyar telah diraihnya. Padahal, apabila dicermati,
sebenarnya ia harus dinyatakan menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar.
Kerugian
ini terjadi karena PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun tidak dapat menagih
pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu, pajak pihak ketiga
dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan standar akuntansi keuangan,
ia tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk pendapatan atau asset. Dengan
demikian, kekeliruan dalam pencatatan transaksi atau perubahan keuangan telah
terjadi di sini.
Di
lain pihak, PT Kereta Api Indonesia memandang bahwa kekeliruan pencatatan
tersebut hanya terjadi karena perbedaan persepsi mengenai pencatatan piutang
yang tidak tertagih. Terdapat pihak yang menilai bahwa piutang pada pihak
ketiga yang tidak tertagih itu bukan pendapatan. Sehingga, sebagai
konsekuensinya PT Kereta Api Indonesia seharusnya mengakui menderita kerugian
sebesar Rp. 63 milyar. Sebaliknya, ada pula pihak lain yang berpendapat bahwa
piutang yang tidak tertagih tetap dapat dimasukkan sebagai pendapatan PT Kereta
Api Indonesia sehingga keuntungan sebesar Rp. 6,90 milyar dapat diraih pada
tahun tersebut. Diduga, manipulasi laporan keuangan PT Kereta Api Indonesia
telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Sehingga, akumulasi permasalahan
terjadi disini.
2.
Malinda
Palsukan Tanda Tangan Nasabah
JAKARTA,
KOMPAS.com - Terdakwa kasus pembobolan dana Citibank, Malinda Dee binti
Siswowiratmo (49), diketahui memindahkan dana beberapa nasabahnya dengan cara
memalsukan tanda tangan mereka di formulir transfer. Hal ini terungkap dalam
dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum di sidang perdananya, di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan, Selasa (8/11/2011). "Sebagian tanda tangan yang
ada di blangko formulir transfer tersebut adalah tandatangan nasabah,"
ujar Jaksa Penuntut Umum, Tatang Sutarna.
Malinda
antara lain memalsukan tanda tangan Rohli bin Pateni. Pemalsuan tanda tangan
dilakukan sebanyak enam kali dalam formulir transfer Citibank bernomor AM 93712
dengan nilai transaksi transfer sebesar 150.000 dollar AS pada 31 Agustus 2010.
Pemalsuan juga dilakukan pada formulir bernomor AN 106244 yang dikirim ke PT
Eksklusif Jaya Perkasa senilai Rp 99 juta. Dalam transaksi ini, Malinda menulis
kolom pesan, "Pembayaran Bapak Rohli untuk interior". Pemalsuan
lainnya pada formulir bernomor AN 86515 pada 23 Desember 2010 dengan nama
penerima PT Abadi Agung Utama. "Penerima Bank Artha Graha sebesar Rp 50
juta dan kolom pesan ditulis DP untuk pembelian unit 3 lantai 33 combine
unit," baca jaksa.
Masih
dengan nama dan tanda tangan palsu Rohli, Malinda mengirimkan uang senilai Rp
250 juta dengan formulir AN 86514 ke PT Samudera Asia Nasional pada 27 Desember
2010 dan AN 61489 dengan nilai uang yang sama pada 26 Januari 2011. Demikian
pula dengan pemalsuan pada formulir AN 134280 dalam pengiriman uang kepada
seseorang bernama Rocky Deany C Umbas sebanyak Rp 50 juta pada 28 Januari 2011
untuk membayar pemasangan CCTV milik Rohli.
Adapun
tanda tangan palsu atas nama korban N Susetyo Sutadji dilakukan lima kali,
yakni pada formulir Citibank bernomor No AJ 79016, AM 123339, AM 123330, AM
123340, dan AN 110601. Secara berurutan, Malinda mengirimkan dana sebesar Rp 2
miliar kepada PT Sarwahita Global Management, Rp 361 juta ke PT Yafriro
International, Rp 700 juta ke seseorang bernama Leonard Tambunan. Dua transaksi
lainnya senilai Rp 500 juta dan 150 juta dikirim ke seseorang bernama Vigor AW
Yoshuara.
"Hal
ini sesuai dengan keterangan saksi Rohli bin Pateni dan N Susetyo Sutadji serta
saksi Surjati T Budiman serta sesuai dengan Berita Acara Pemeriksaan
laboratoris Kriminalistik Bareskrim Polri," jelas Jaksa. Pengiriman dana
dan pemalsuan tanda tangan ini sama sekali tak disadari oleh kedua nasabah
tersebut.
3.
Kasus
Mulyana W Kusuma
Kasus
ini terjadi sekitar tahun 2004. Mulyana W Kusuma sebagai seorang anggota KPU
diduga menyuap anggota BPK yang saat itu akan melakukan audit keuangan
berkaitan dengan pengadaan logistic pemilu. Logistic untuk pemilu yang dimaksud
yaitu kotak suara, surat suara, amplop suara, tinta, dan teknologi informasi.
Setelah dilakukan pemeriksaan, badan dan BPK meminta dilakukan penyempurnaan
laporan. Setelah dilakukan penyempurnaan laporan, BPK sepakat bahwa laporan
tersebut lebih baik daripada sebelumnya, kecuali untuk teknologi informasi.
Untuk itu, maka disepakati bahwa laporan akan diperiksa kembali satu bulan
setelahnya.
Setelah
lewat satu bulan, ternyata laporan tersebut belum selesai dan disepakati
pemberian waktu tambahan. Di saat inilah terdengar kabar penangkapan Mulyana W
Kusuma. Mulyana ditangkap karena dituduh hendak melakukan penyuapan kepada
anggota tim auditor BPK, yakni Salman Khairiansyah. Dalam penangkapan tersebut,
tim intelijen KPK bekerja sama dengan auditor BPK. Menurut versi Khairiansyah
ia bekerja sama dengan KPK memerangkap upaya penyuapan oleh saudara Mulyana
dengan menggunakan alat perekam gambar pada dua kali pertemuan mereka.
Penangkapan
ini menimbulkan pro dan kontra. Salah satu pihak berpendapat auditor yang
bersangkutan, yakni Salman telah berjasa mengungkap kasus ini, sedangkan pihak
lain berpendapat bahwa Salman tidak seharusnya melakukan perbuatan tersebut
karena hal tersebut telah melanggar kode etik akuntan.
Analisa
: Hal yang dilakukan oleh Khairiansyah tidak dibenarkan karena melanggar kode
etik akuntan. Seorang auditor telah melanggar prinsip objektivitas karena telah
memihak kepada salah satu pihak dengan berpendapat adanya kecurangan. Lalu
auditor juga melanggar prinsip kompetensi dan kehati-hatian profesional karena
auditor tidak mampu mempertahankan pengetahuan dan keterampilan profesional
dalam melakukan audit keuangan terkait dengan pengadaan logistic pemilu.
4.
Kasus
Sembilan KAP yang diduga melakukan kolusi dengan kliennya
Jakarta,
19 April 2001 .Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta pihak kepolisian
mengusut sembilan Kantor Akuntan Publik, yang berdasarkan laporan Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diduga telah melakukan kolusi dengan
pihak bank yang pernah diauditnya antara tahun 1995-1997. Koordinator ICW Teten
Masduki kepada wartawan di Jakarta, Kamis, mengungkapkan, berdasarkan temuan
BPKP, sembilan dari sepuluh KAP yang melakukan audit terhadap sekitar 36 bank
bermasalah ternyata tidak melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar
audit.
Hasil
audit tersebut ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya sehingga akibatnya
mayoritas bank-bank yang diaudit tersebut termasuk di antara bank-bank yang
dibekukan kegiatan usahanya oleh pemerintah sekitar tahun 1999. Kesembilan KAP
tersebut adalah AI & R, HT & M, H & R, JM & R, PU & R, RY,
S & S, SD & R, dan RBT & R. “Dengan kata lain, kesembilan KAP itu
telah menyalahi etika profesi. Kemungkinan ada kolusi antara kantor akuntan
publik dengan bank yang diperiksa untuk memoles laporannya sehingga memberikan
laporan palsu, ini jelas suatu kejahatan,” ujarnya. Karena itu, ICW dalam waktu
dekat akan memberikan laporan kepada pihak kepolisian untuk melakukan
pengusutan mengenai adanya tindak kriminal yang dilakukan kantor akuntan publik
dengan pihak perbankan.
ICW
menduga, hasil laporan KAP itu bukan sekadar “human error” atau kesalahan dalam
penulisan laporan keuangan yang tidak disengaja, tetapi kemungkinan ada
berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang dicoba ditutupi dengan melakukan
rekayasa akuntansi. Teten juga menyayangkan Dirjen Lembaga Keuangan tidak
melakukan tindakan administratif meskipun pihak BPKP telah menyampaikan
laporannya, karena itu kemudian ICW mengambil inisiatif untuk mengekspos
laporan BPKP ini karena kesalahan sembilan KAP itu tidak ringan. “Kami
mencurigai, kesembilan KAP itu telah melanggar standar audit sehingga
menghasilkan laporan yang menyesatkan masyarakat, misalnya mereka memberi
laporan bank tersebut sehat ternyata dalam waktu singkat bangkrut. Ini
merugikan masyarakat. Kita mengharapkan ada tindakan administratif dari
Departemen Keuangan misalnya mencabut izin kantor akuntan publik itu,”
tegasnya. Menurut Tetan, ICW juga sudah melaporkan tindakan dari kesembilan KAP
tersebut kepada Majelis Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan sekaligus
meminta supaya dilakukan tindakan etis terhadap anggotanya yang melanggar kode
etik profesi akuntan.
5.
Kasus
KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono yang diduga menyuap pajak
September
tahun 2001, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono harus menanggung malu.
Kantor akuntan publik ternama ini terbukti menyogok aparat pajak di Indonesia
sebesar US$ 75 ribu. Sebagai siasat, diterbitkan faktur palsu untuk biaya jasa
profesional KPMG yang harus dibayar kliennya PT Easman Christensen, anak
perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat di bursa New York.
Berkat
aksi sogok ini, kewajiban pajak Easman memang susut drastis. Dari semula US$
3,2 juta menjadi hanya US$ 270 ribu. Namun, Penasihat Anti Suap Baker rupanya
was-was dengan polah anak perusahaannya. Maka, ketimbang menanggung risiko
lebih besar, Baker melaporkan secara suka rela kasus ini dan memecat
eksekutifnya. Badan pengawas pasar modal AS, Securities & Exchange
Commission, menjeratnya dengan Foreign Corrupt Practices Act, undang-undang
anti korupsi buat perusahaan Amerika di luar negeri. Akibatnya, hampir saja
Baker dan KPMG terseret ke pengadilan distrik Texas. Namun, karena Baker mohon
ampun, kasus ini akhirnya diselesaikan di luar pengadilan. KPMG pun
terselamatan.
6.
Kasus
Manipulasi KAP Andersen dan Enron
Sejak
tahun 1985 Enron Corporation menggunakan jasa Arthur Andersen. Andersen
melakukan audit internal dan audit external untuk Enron termasuk untuk
kantor-kantor cabangnya. Enron corporation adalah salah satu klien terbesar
Andersen dengan kontribusi omset sebesar $10 milyar per tahunnya.
Dalam
rangka memperbesar keuntungan yang selama ini telah diperoleh, dibukalah
partnership-partneship yang diberi nama “special purpose partnership”. Partner
dagang yang dimiliki oleh Enron hanya satu untuk setiap partnership dan partner
tersebut hanya menyumbang modal yang sangat sedikit (hanya sekitar 3% dari
jumlah modal keseluruhan). Orang awam pasti bertanya mengapa Enron berminat
untuk berpartisipasi dalam partnership dimana Enron menyumbang 97% dari modal.
Muncul
pertanyaan dari mana Enron membiayai partnership-partnership tersebut?
Pembiayaan tersebut ternyata diperoleh Enron dengan “meminjamkan” saham Enron
(induk perusahaan) kepada Enron (anak perusahaan) sebagai modal dasar
partnership-partnership tersebut. Secara singkat, Enron sesungguhnya mengadakan
transaksi dengan dirinya sendiri. Enron tidak pernah mengungkapkan operasi dari
partnership-partnership tersebut dalam laporan keuangan yang ditujukan kepada
pemegang saham dan Security Exchange Commission (SEC).
Lebih
jauh lagi, Enron bahkan memindahkan utang-utang sebesar $US 690 juta yang
ditimbulkan induk perusahaan ke partnership partnership tersebut. Total hutang
yang berhasil disembunyikan adalah $US 1,2 miliar. Akibatnya, laporan keuangan
dari induk perusahaan terlihat sangat atraktif, menyebabkan harga saham Enron
melonjak menjadi $US90 pada bulan Februari 2001. Perhitungan menunjukkan bahwa
dalam kurun waktu tersebut, Enron telah melebih-lebihkan laba mereka sebanyak
$US650miliar.
Manipulasi
yang dilakukan Enron selama bertahun-tahun ini mulai terungkap ketika Sherron
Watskin, salah satu eksekutif Enron mulai melaporkan praktek tidak terpuji ini.
Pada bulan September 2001, pemerintah mulai mencium adanya ketidakberesan dalam
laporan pembukuan Enron. Pada bulan Oktober 2001, Enron mengumumkan kerugian
sebesar $US618 miliar dan nilai aset Enron menyusut sebesar $US1,2 triliun
dolar AS. Pada laporan keuangan yang sama diakui, bahwa selama tujuh tahun
terakhir, Enron selalu melebih-lebihkan laba bersih mereka. Akibat laporan
mengejutkan ini, nilai saham Enron mulai anjlok dan saat Enron mengumumkan
bahwa perusahaan harus gulung tingkar, 2 Desember 2001, harga saham Enron hanya
26 sen.
7.
Kasus
pelanggaran Standar Profesional Akuntan Publik
Kasus
pelanggaran Standar Profesional Akuntan Publik kembali muncul. Menteri Keuangan
pun memberi sanksi pembekuan. Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati
membekukan izin Akuntan Publik (AP) Drs. Petrus Mitra Winata dari Kantor
Akuntan Publik (KAP) Drs. Mitra Winata dan Rekan selama dua tahun, terhitung
sejak 15 Maret 2007. Kepala Biro Hubungan Masyarakat Departemen Keuangan
Samsuar Said dalam siaran pers yang diterima Hukumonline, Selasa (27/3), menjelaskan
sanksi pembekuan izin diberikan karena akuntan publik tersebut melakukan
pelanggaran terhadap Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP).
Pelanggaran
itu berkaitan dengan pelaksanaan audit atas Laporan Keuangan PT Muzatek Jaya
tahun buku berakhir 31 Desember 2004 yang dilakukan oleh Petrus. Selain itu,
Petrus juga telah melakukan pelanggaran atas pembatasan penugasan audit umum
dengan melakukan audit umum atas laporan keuangan PT Muzatek Jaya, PT Luhur
Artha Kencana dan Apartemen Nuansa Hijau sejak tahun buku 2001 sampai dengan
2004.
Selama
izinnya dibekukan, Petrus dilarang memberikan jasa atestasi termasuk audit
umum, review, audit kinerja dan audit khusus. Yang bersangkutan juga dilarang
menjadi pemimpin rekan atau pemimpin cabang KAP, namun dia tetap
bertanggungjawab atas jasa-jasa yang telah diberikan, serta wajib memenuhi
ketentuan mengikuti Pendidikan Profesional Berkelanjutan (PPL). Pembekuan izin
oleh Menkeu tersebut sesuai dengan Keputusan Menkeu Nomor 423/KMK.06/2002
tentang Jasa Akuntan Publik sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menkeu
Nomor 359/KMK.06/2003.
8.
Kredit
Macet Rp 52 Miliar, Akuntan Publik Diduga Terlibat
Seorang
akuntan publik yang membuat laporan keuangan perusahaan Raden Motor untuk
mendapatkan pinjaman modal senilai Rp 52 miliar dari BRI Cabang Jambi pada
2009, diduga terlibat kasus korupsi dalam kredit macet. Hal ini terungkap
setelah pihak Kejati Jambi mengungkap kasus dugaan korupsi tersebut pada kredit
macet untuk pengembangan usaha di bidang otomotif tersebut.
Hasil
pemeriksaan dan konfrontir keterangan tersangka dengan saksi Biasa Sitepu
terungkap ada kesalahan dalam laporan keuangan perusahaan Raden Motor dalam
mengajukan pinjaman ke BRI. Ada empat kegiatan data laporan keuangan yang tidak
dibuat dalam laporan tersebut oleh akuntan publik, sehingga terjadilah
kesalahan dalam proses kredit dan ditemukan dugaan korupsinya. Keterangan dan
fakta tersebut terungkap setelah tersangka Effendi Syam diperiksa dan
dikonfrontir keterangannya dengan saksi Biasa Sitepu sebagai akuntan publik
dalam kasus tersebut di Kejati Jambi.
Semestinya
data laporan keuangan Raden Motor yang diajukan ke BRI saat itu harus lengkap,
namun dalam laporan keuangan yang diberikan tersangka Zein Muhamad sebagai
pimpinan Raden Motor ada data yang diduga tidak dibuat semestinya dan tidak
lengkap oleh akuntan publik. Tersangka Effendi Syam melalui kuasa hukumnya
berharap pihak penyidik Kejati Jambi dapat menjalankan pemeriksaan dan
mengungkap kasus dengan adil dan menetapkan siapa saja yang juga terlibat dalam
kasus kredit macet senilai Rp 52 miliar, sehingga terungkap kasus korupsinya.
Sementara
itu pihak penyidik Kejaksaan yang memeriksa kasus ini belum mau memberikan
komentar banyak atas temuan keterangan hasil konfrontir tersangka Effendi Syam
dengan saksi Biasa Sitepu sebagai akuntan publik tersebut. Kasus kredit macet
yang menjadi perkara tindak pidana korupsi itu terungkap setelah kejaksaan
mendapatkan laporan adanya penyalahgunaan kredit yang diajukan tersangka Zein
Muhamad sebagai pimpinan Raden Motor. Dalam kasus ini pihak Kejati Jambi baru
menetapkan dua orang tersangka, pertama Zein Muhamad sebagai pimpinan Raden
Motor yang mengajukan pinjaman dan tersangka Effedi Syam dari BRI yang saat itu
menjabat sebagai pejabat penilai pengajuan kredit.
9.
Kasus
PT. Metro Batavia (Batavia Air)
Humas
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Bagus Irawan, menyatakan berdasarkan putusan
Nomor 77 mengenai pailit, PT Metro
Batavia (Batavia Air)dinyatakan pailit. “Yang menarik dari persidangan ini,
Batavia mengaku tidak bisa membayar utang,” ujarnya, seusai sidang di
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, 30 Januari 2013.
Ia
menjelaskan, Batavia Air mengatakan tidak bisa membayar utang karena “force
majeur”. Batavia Air menyewa pesawat Airbus dari International Lease Finance
Corporation (ILFC) untuk angkutan haji. Namun, Batavia Air kemudian tidak
memenuhi persyaratan untuk mengikuti tender yang dilakukan pemerintah.
Gugatan
yang diajukan ILFC bernilai US$ 4,68 juta, yang jatuh tempo pada 13 Desember
2012. Karena Batavia Air tidak melakukan pembayaran, maka ILFC mengajukan
somasi atau peringatan. Namun akrena maskapai itu tetap tidak bisa membayar
utangnya, maka ILFC mengajukan gugatan pailit kepada Batavia Air di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat. Pesawat yang sudah disewa pun menganggur dan tidak dapat
dioperasikan untuk menutup utang. Dari bukti-bukti yang diajukan ILFC sebagai
pemohon, ditemukan bukti adanya utang oleh Batavia Air. Sehingga sesuai aturan
normatif, pengadilan menjatuhkan putusan pailit. Ada beberapa pertimbangan
pengadilan. Pertimbangan-pertimbangan itu adalah adanya bukti utang, tidak
adanya pembayaran utang, serta adanya kreditur lain. Dari semua unsur tersebut,
maka ketentuan pada pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Kepailitan terpenuhi.
Jika
menggunakan dalil “force majeur” untuk tidak membayar utang, Batavia Air harus
bisa menyebutkan adanya syarat-syarat kondisi itu dalam perjanjian. Namun
Batavia Air tidak dapat membuktikannya. Batavia Air pun diberi kesempatan untuk
kasasi selama 8 hari. “Kalau tidak mengajukan, maka pailit tetap,”
Batavia
Air pasrah dengan kondisi ini. Artinya, kata dia, Batavia Air sudah menghitung
secara finansial jumlah modal dan utang yang dimiliki. Ia pun menuturkan,
dengan dipailitkan, maka direksi Batavia Air tidak bisa berkecimpung lagi di
dunia penerbangan.
10. Skandal Akuntansi pada PT Worldcom
(MCI)
MCI,
Inc. (NASDAQ: MCIP), adalah perusahaan telekomunikasi Amerika yang bermarkas di
Ashburn, Virginia. Perusahaan ini merupakan hasil dari penggabungan dari
WorldCom (dulunya dikenal sebagai LDDS) dan MCI Communications, dan menggunakan
nama MCI WorldCom sebelum mengambil nama sekarang pada 14 April 2003 sebagai
bagian dari darurat perusahaan dari kebangkrutan. Praktek Akuntansi Dalam
laporannya pada 25 Juni Worldcom mengakui bahwa perusahan mengklasifikasikan
lebih dari $ 3,8 milyar untuk beban jaringan sebagai pengeluaran modal.beben
jaringan adalah beban yang dibayar oleh Worldcom kepda perusahaan lain untuk
jaringan telekomunikasi, seperti biaya akses dan biaya pengiriman pesan bagi
Worldcom. Dilaporkan sekitar $ 3,005 milyar telah salah diklasifiksi pada tahun
2001, sementara sisanya sekitar $ 797 juta pada triwulan pertama tahun
2002.berdasarkan data Worldcom $14,7 milyar pad tahun 2001 disajikan sebagai
biaya.
Dengan
memindahkan akun beban kepada akun modal, Worldcom mampu menaikkan pendapatan
atau laba. Worldcom mampu menaikan laba karena akun beban dicatat lebih rendah,
sedangkan akun aset dicatat lebih tinggi karena beban kapitalisasi disajikan
sebagai beban investasi. Kalau hal itu tidak terdeteksi praktek ini akan
berakibat pendapatan bersih yang lebih rendah dalam tahun-tahun berikutnya.
Karena beban kapitalisasi jaringan tersebut akan didepresiasikan secara esensi
beban kapitalisasi jaringan akan memungkinkan perusahaan untuk mengalokasikan
biayanya dalam beberapa tahun dimasa depan, mungkin antara 10 tahun bahkan
lebih.Staf akuntan Worldcom telah diwawancara sebelum tanggal 25 Juni. Pada
Maret 2002 SEC meminta data dari perusahaan berupa item-item yang berhubungan
dengan Laporan Keuangan. Termasuk didalamnya :
1. komisi penjualan dan tagihan-tagihan yang
bermasalah
2. sanksi administrsi terhadap pendapatan
yang berhubungn dengan pelanggan dalam sekala besar
3. kebijakan akuntansi untuk merger
4. pinjaman kepada CEO
5. integrasi sistem komputer Worldcom dengan
MCI
6. analisis ekspektasi pendapatan saham WC
Pada
1 Juli 2002 worldcom mengumumkan bahwa akun cadangan di Worldcom juga
diinvestigasi/diperiksa. Perusahaan membuat akun ini untuk mengantisipasi
kejadian-kejadian luar biasa yang tidak dapat diprediksi. Seperti utang pajak
tahun depan. Seharusnya akun ini tidak boleh dimanipulasi untuk memperoleh
pendapatan. Tanggal 8 agustus Worldcom mengakui bahwa mereka telah menggunakan
akun cadangan secara tidak benar. Dakwaan yang dilaporkan pada tanggal 28
agustus adalah bahwa akun cadangan dikurangi untuk menutupi biaya jaringan yang
telah dikapitalisasi.
Pertanyaan
Audit berdasarkan latar belakang tersebut, penyajian beban jaringan sebagai
pengeluaran modal ditemukan oleh internal auditor Cynthia Cooper. Mei 2002
Auditor Cynthia Cooper mendiskusikan masalah tersebut kepada kepala keuangan
Worldcom Scott D. Sullivan dan controller perusahaan saat itu David F. Myers.
Cooper melaporkan masalah tersebut pada kepala komite audit Max Bobbitt,
sekitar 12 Juni. Yang kemudian Max Bobbitt meminta kepada KPMG selaku eksternal
auditor saat itu untuk melakukan investigasi.
Kepala
keuangan worldcom diminta untuk mengkoreksi salah saji/salah
pengklasifikasiannya. Setelah berdiskusi lebih lanjut Scott D. Sullivan dipecat
pada saat Worldcom mengadakan pengumuman. Pada hari yang sama David F. Myers
mengundurkan diri. Dilaporkan bahwa Sullivan tidak pernah mengkonsultasikan
penyajian tersebut kepada Artuhr Anderson selaku auditor eksernal pada tahun
2001. dan Arthur Anderson pun menyatakan bahwa Sullivan tidak pernah
berkonsultasi dengan nya.
Pada
tanggal 15 Juli, Tauzi yang merupakan House Energy and Commerce Committee
mengatakan bahwa berdasarkan dokumen-dokumen internal dan email Worldcom
mengindikasikan bahwa sebenarnya pihak eksekutif sudah mengetahui salah saji
tersebut sejak awal musim panas 2000 silam. Internal auditor adalah pertahanan
awal terhadap kesalahan paktek-praktek akuntansi dan kecurangan akuntansi. Satu
pertanyaan kepada Internal Auditor Worldcom adalah kenapa butuh waktu lama (1
tahun) untuk mengungkap salah saji ini. Padahal mengingat nilai kapitalisasi
yang begitu besar dan pengaruhnya terhadap nilai pendapatan bersih dan total
aktiva harusnnya bisa diungkap lebih cepat.
Sumber :
http://www.scribd.com/doc/40228705/KASUS-ENRON
(diakses pada 01 Desember 2016)
http://tulisan-amalia.blogspot.com/2011/11/contoh-kasus-prinsip-etika-
profesi.html (diakses pada 01 Desember 2016)
http://www.suaramerdeka.com (diakses
pada tanggal 01 Desember 2016)
http://www.kompas.com (diakses pada
tanggal 01 Desember 2016)
http://yonayoa.blogspot.co.id/2013/01/contoh-kasus-pelanggaran-etika-profesi.html
(diakses pada tanggal 01 Desember 2016)
https://www.academia.edu/8112014/Kasus-Kasus_dalam_etika_profesi
(diakses pada tanggal 01 Desember 2016)
https://www.academia.edu/5861505/5_Kasus_Pelanggaran_Etika_Profesi?auto=download
(diakses pada tanggal 01 Desember 2016)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar